Tidaklah sekelompok orang duduk di suatu tempat untuk berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla melainkan para malaikat akan meliputi mereka, rahmat menyelimuti mereka, ketenangan turun kepada mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di hadapan para malaikat yang ada di sisi-Nya.” (HR. Muslim dalam Kitab ad-Dzikr wa ad-Du’a wa at-Taubah wa al-Istighfar, hadits no. 2700, lihat Syarh Nawawi [8/291])

RHAMADHAN

1) Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ رُخْصَةٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِ عَنْهُ صَوْمُ الدَّهْرِ كُلِّهِ وَإِنْ صَامَهُ

Siapa saja tidak menunaikan shaum Ramadhan sekalipun sehari tanpa alasan rukhshah atau sakit, hal itu merupakan dosa besar yang tidak bisa ditebus, bahkan seandainya ia menunaikan shaum sepanjang masa. (HR at-Tirmidzi)

2) Kebaikan Rasulullah saw. Pada bulan Ramadhan melebihi angin yang berhembus karena begitu cepat dan banyaknya. Dalam sebuah hadis disebutkan:

أَفْضَلُ الصَّدَقَةِ صَدَقَةُ رَمَضَانَ

Sebaik-baiknya sedekah adalah sedekah pada bulan Ramadhan (hR al-Baihaqi, al-Khatib dan at-Tirmidz)

3) Dalam sembilan kali Ramadhan yang pernah Beliau alami, misalnya, Beliau justru melakukan ekspedisi dan pengiriman pasukan. Di antaranya:

- Perang Badar (tahun 2 H)
- Penaklukan Makkah (tahun 8 H)
- Perang Tabuk (tahun 9 H) Di mana ada kita mengenal kejadian
sedekah yang besar dan monumental yaitu disaat Abu Bakar
Shiddiq Ra mengeluarkan sedekah seluruh hartanya dalam
perang tsb;
- Mengirimkan 6 askariyah (pasukan jihad yang tidak secara
langsung Beliau pimpin)
- Meruntuhkan berhala-berhala Arab seperti Lata, Manat dan Suwa
- Meruntuhkan ibadah kaum munafiq dhirar, dll.


PUASA TAPI MENINGGALKAN SHALAT ? 
“Puasa yang dilakukan oleh orang yang meninggalkan shalat tidaklah diterima karena orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dan murtad. Dalil bahwa meninggalkan shalat termasuk bentuk kekafiran adalah firman Allah Ta’ala,
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الْآَيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui.” (Qs. At Taubah [9]: 11)
Alasan lain adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“Pembatas antara seorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 82)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami dan mereka (orang kafir) adalah mengenai shalat. Barangsiapa meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan shahih oleh Syaikh Al Albani)
Pendapat yang mengatakan bahwa meninggalkan shalat merupakan suatu kekafiran adalah pendapat mayoritas 

sahabat Nabi bahkan dapat dikatakan pendapat tersebut adalah ijma’ (kesepakatan) para sahabat.

‘Abdullah bin Syaqiq –rahimahullah- (seorang tabi’in yang sudah masyhur) mengatakan, “Para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amalan yang apabila seseorang meninggalkannya akan menyebabkan dia kafir selain perkara shalat.” [Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi dari 'Abdullah bin Syaqiq Al 'Aqliy; seorang tabi'in. Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. Lihat Ats Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal. 52, -pen]
Oleh karena itu, apabila seseorang berpuasa namun dia meninggalkan shalat, puasa yang dia lakukan tidaklah sah (tidak diterima). Amalan puasa yang dia lakukan tidaklah bermanfaat pada hari kiamat nanti.
Oleh sebab itu, kami katakan, “Shalatlah kemudian tunaikanlah puasa.” Adapun jika engkau puasa namun tidak shalat, amalan puasamu akan tertolak karena orang kafir (karena sebab meninggalkan shalat) tidak diterima ibadah dari dirinya.
[Sumber: Majmu' Fatawa wa Rosa-il Ibnu 'Utsaimin, 17/62, Asy Syamilah]


CIRI-CIRI PUASA YANG DITERIMA ALLAH 
1. jiwanya merasa lebih bersih dan ikhlas
Dalil: " Tiap-tiap amal Bani Adam untuknya kecuali Puasa, ia untuk-KU" (Bukhari-Muslim), apakah anda merasakan anda-anda benar berpuasa dengan penuh Ikhas sebagaimana mafhum hadith itu?

2. Fizikal anda bertambah sihat dan jiwa anda amat bahgia selepas 30 hari berpuasa.
Dalil: "Orang yang berpuasa merasai dua kebahgiaan: bahgia ketika berbuka dan ketika bertemu Allah dan ia berbahgia dengan puasanya." (Bukhari-Muslim)
Jika anda merasa damai dan bahgia, maka ia 30 hari yg sukses.

3. Puasa melakukan suatu kejutan dan perubahan kepada rutin dan kebiasaan seseorang dan memasukkan jatidiri atau membina perisai.
dalil: "Puasa adalah perisai dari sekelian banyak perisai orang mukmin." HR Tabrani disahihkan oleh al-Albani dalam Sahihul Jaami'

4. Kendurnya gelora seksual seseorang.
Dalilnya: "Wahai pemuda, barangsiapa yang mampu diantara kamu, maka menikahlah, kerana ia dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. B/siapa tidak mampu, bepuasalah..kerana ia adalah perisai." Bukhari

5. Tajamnya perasaan kita terhadap nikmat Allah dan kita menjadi lebih bersyukur.
Dalil: Nabi menggambarkan kehidupan hariannya walaupun status insan pilihan memilih untuk lapar sehari dan kenyang sehari (puasa Daud)...baginda menjelaskan kenapa," bila aku lapar, aku merendah diri dan berzikir kepada-Mu, bila aku kenyang, aku memujiMu dan bersyukur." {HR Ahmad dan Termidzi, tapi sayang dinilai dha'if oleh al-Albani}

6. Gabungan dari semua itu, puasa membawa puasawan menjadi lebih TAQWA. Dalil: QS 2:185 (agar kalian bertaqwa)


Fadhilat dan Kelebihan Tarawih

Ada pun fadhilat dan kelebihan bagi orang-orang yang mengerjakan sembahyang sunat Tarawih adalah seperti berikut :-
Malam
Kelebihannya
1Dosanya keluar seperti ia baru di lahirkan ibunya
2Dosanya di ampuni, begitu pula dosa kedua ibu bapanya jika keduanya itu orang mukmin
3
Di panggil oleh malaikat dari bawah Arasy dengan seruan: “Mulailah kamu beramal sebab Allah telah mengampuni dosamu yang telah lalu”.
4Di beri pahala yang sama, dan pahala orang-orang yang membaca Kitab Taurat, Injil, Zabur dan Al-Quran.
5Di beri pahala seperti orang yang melakukan sembahyang di Masjidil Haram di Makkah, Masjid An-Nabawi di Madinah dan Masjid Al-Aqsa di Palestin
6Di beri pahala seperti pahala malaikat yang tawaf di Baitul Ma’mur, batu-batu serta pasir turut sama
memohonkan ampun baginya
7Seperti orang yang hidup pada zaman Nabi Musa dan membantunya hingga dapat mengalahkan Fir’aun dan Haman
8Di berikan oleh Allah segala apa yang pernah di berikan kepada Nabi Ibrahim ‘alaihisalam
9Seperti pahala beribadah kepada Allah yang di lakukan oleh Nabi Muhammad S.A.W
10Di kurniakan oleh Allah kebaikan dunia dan akhirat
11Keluar dari dunia seperti pada hari dilahirkan dari kandungan ibu bersih daripada segala dosa
12Datang di hari kiamat dengan keadaan mukanya bercahaya dan bersinar bagaikan malam bulan purnama
13Datang di hari kiamat dengan keadaan aman dari segala kejahatan
14Disaksikan oleh para malaikat, kalau dia telah melaksanakan solat tarawih maka pada hari kiamat ia akan di bebaskan oleh Allah dari segala mudarat.
15Di minta ampun oleh para malaikat, oleh malaikat yang memikul Arasy dan Kerusi.
16Di bebaskan dari api neraka dan dapat masuk syurga
17Di beri pahala seperti pahala para Nabi
18Di seru oleh para malaikat, “Wahai hamba Allah, bahawasanya Allah telah redha kepadamu dan kepada orang tua kamu”.
19Di angkat darjatnya ke dalam syurga firdaus.
20Di beri pahala para syuhada dan salihen
21Di bina rumahnya dari nur di dalam syurga.
22Kelak di hari kiamat ia akan datang dengan aman dari segala kesusahan dan dugaan
23Di bangunkan sebuah kota untuknya di syurga
24Di beri pahala yang berupakan dua puluh empat permohonan di kabulkan
25Di hapuskan dari seksaan kubur.
26Pahalanya diangkat selama empat puluh tahun
27Dalam melintasi sirat (jambatan) pada hari kiamat kelak, dia akan dapat melintasi dengan laju bagaikan kilat menyambar.
28Allah mengangkat dengan seribu darjat di syurga
29Diberi pahala seribu haji yang mabrur
30Di panggil dan di persilakan oleh Allah, wahai hambaku, makanlah buah-buahan syurga dan mandilah dengan air salsabil (air syurga yang sedap di minum) serta minumlah dari telaga kausar. Akulah Tuhanmu dan engkau hambaku.


 ZAKAT FITRAH
Pengertian Zakat Fitrah menurut istilah, zakat fithri (fitrah)  berarti zakat yang diwajibkan karena berkaitan dengan waktu ifthor (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan. Hukum Zakat Fitrah adalah shodaqoh yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim pada hari tidak berpuasa lagi   dari bulan Ramadhan (Hari Raya Idul Fitri).

Siapa yang berkewajiban membayar zakat fitrah?

Yang berkewajiban membayar zakat fitrah menurut mayoritas ulama,  adalah orang mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkah pada malam dan siang hari idul fitri. Seseorang mulai terkena kewajiban membayar zakat fitrah jika ia bertemu terbenamnya matahari di malam hari raya Idul Fithri.
Bentuk zakat fitrah adalah berupa makanan pokok seperti beras, kurma, gandum,  kismis, keju dan semacamnya. Besarnya Zakat Fitrah yang wajib dibayar oleh 1 orang adalah 2,5kg makanan pokok. Waktu pembayaran zakat fithri ada dua macam:
  1. Waktu afdhol yaitu mulai dari terbit fajar pada hari ‘idul fithri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied;
  2. Waktu yang dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum ‘ied sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibnu Umar.
Niat Menunaikan Zakat Fitrah
Zakat Fitrah Untuk Diri Sendiri

نَوَيْتُ اَنْ اَخْرَجَ زَكَاةَ الفِطْرِ عَنْ نَفْسِ فَرْضًا ِللهِ تَعَالىَ

“Aku Berniat menunaikan zakat fitrah untuk diriku sendiri suatu kewajiban karena Allah Ta’ala

11. Niat Zakat Fitrah Untuk Diri Sendiri dan Keluarga

نَوَيْتُ اَنْ اَخْرَجَ زَكَاةُ الفِطْرِ عَنِّى وَعَنْ جَمِيْعِ مَنْ يَلءزَمُنِيْ نَفَقَاتُهُمْ شَرْعًا فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى

“Aku berniat menunaikan zakat fitrah untuk diriku dan untuk semua orang yang nafkahnya menjadi tanggunganku menurut syariat agama suatu kewajiban karena Allah Ta’ala

12. Do’a Menerima Zakat

ءَاجَرَكَ اللهُ فِيْمَا اَعْطَيْتَ وَبَارَكَ فِيْمَا اَبْقَيْتَ وَجَعَلَ اللهُ لَكَ طَهُوْرًا

“Semoga Allah melimpahkan ganjaran pahala terhadap harta yang telah Engkau berikan dan semoga Allah memberkahi harta yang masih tersisa padamu, serta semoga Allah menjadikan dirimu suci bersih”

Syarat-syaratnya ialah:
i) Individu yang mempunyai lebihan makanan atau hartanya dari keperluan diri dan tanggungannya pada satu Syawal.

ii) Anak yang lahir sebelum (uruf) matahari akhir bulan Ramadan dan hidup selepas terbenam matahari Ramadan.

iii) Seseorang yang meninggal dunia selepas terbenamnya matahari akhir Ramadan.

Menganut Islam sebelum terbenam matahari pada akhir bulan Ramadan dan berkekalan Islamnya sehingga awal Syawal. 
 
TANYA JAWAB SEPUTAR ZAKAT FITRAH
1. Apakah pengertian Zakat Fitrah?
Zakat fitrah ialah zakat diri yang diwajibkan ke atas setiap individu muslim lelaki dan perempuan yang berkemampuan dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syarak.

2. Apakah dalil zakat fitrah?

Zakat fitrah dalilnya bersandarkan kepada Hadis Nabi S.A.W. riwayat daripada yang bermaksud:

"Rasulullah S.A.W. telah memfardukan zakat fitrah pada bulan Ramadan ke atas manusia dengan mengeluarkan satu gantang kurma atau satu gantang gandum (syair) ke atas setiap orang merdeka atau hamba lelaki atau perempuan orang tua atau kanak-kanak yang terdiri daripada orang Islam." (Riwayat Al-Bukhari)

3. Adakah wajib berniat untuk membayar zakat fitrah untuk diri sendiri atau sebagai wakil?
Setiap pembayar zakat atau wakilnya wajib berniat mengeluarkan zakat fitrah untuk diri dan tanggunggannya atau sebagai wakil.

4. Apakah syarat-syarat wajib mengeluarkan zakat fitrah?

Syarat-syaratnya ialah:

i) Individu yang mempunyai lebihan makanan atau hartanya dari keperluan diri dan tanggungannya pada satu Syawal.

ii) Anak yang lahir sebelum (uruf) matahari akhir bulan Ramadan dan hidup selepas terbenam matahari Ramadan.

iii) Seseorang yang meninggal dunia selepas terbenamnya matahari akhir Ramadan.

Menganut Islam sebelum terbenam matahari pada akhir bulan Ramadan dan berkekalan Islamnya sehingga awal Syawal.

5. Berapakah kadar pembayaran zakat fitrah?

Kadar zakat fitrah ialah satu gantang Baghdad bersamaan 2.70 kg beras atau senilai dengannya. Kadar ini berdasarkan ketentuan oleh Pihak Berkuasa Agama Negeri.

6. Bilakah waktu pembayaran zakat fitrah?

Waktu mengeluarkan zakat fitrah terbahagi kepada 5:

(i) Waktu wajib : Akhir Ramadan sehingga terbit matahari.

(ii) Waktu afdal : Bermula terbit fajar subuh sehingga sebelum solat hari raya

(iii) Waktu sunat : Sepanjang bulan Ramadan

(iv) Waktu makruh : Selepas solat hari raya sehingga terbenam matahari pada satu Syawal.

(v) Waktu haram : Selepas (uruf) matahari satu Syawal tetapi tetap wajib membayar zakat fitrahnya. Jika lebih lama tidak dibayar lebih besar dosanya.

7. Bagaimanakah kaedah pembayaran zakat fitrah?

Kaedah pembayaran zakat fitrah yang ditentukan ialah makanan asasi daripada jenis yang mengenyangkan (beras) atau yang senilai dengannya.

Ini adalah berdasarkan Hadis Nabi S.A.W yang diriwayatkan oleh Abu Said Al-Khudry yang bermaksud:

".... adalah kami para sahabat ketika bersama Rasulullah S.A.W. sering mengeluarkan zakat fitrah daripada setiap seorang yang kecil dan besar, merdeka atau hamba satu gantang makanan atau satu gantang keju atau satu gantang syair, tamar atau satu gantang zabib. Demikianlah kami terus berbuat demikian sehingga datang kepada kami oleh Muawiyah bin Abi Sufian bagi mengerjakan amal ibadah haji atau umrah, kemudian beliau menyampaikan ucapannya di atas mimbar, maka dalam ucapannya kepada orang ramai beliau berkata: saya berpendapat, bahawa dua mud (cupak) gandum Sham menyamai satu Sha' (gantang) tamar. Setelah itu, masyarakat pun berbuat demikian sedangkan Abu Said berkata: aku tetap mengeluarkannya sebagaimana mulanya". (Riwayat Muslim)

8. Adakah harus membayar zakat fitrah melalui kaedah selain melalui amil yang dilantik seperti perbankan internet, SMS, pos dan lain-lain?

Harus tetapi wajib niat untuk membayar zakat fitrah untuk dirinya dan keluarganya.

9. Seorang isteri sarat mengandung 9 bulan. Sehingga habis Ramadan anaknya belum lahir kandungannya lagi, adakah wajib zakat fitrah ke atas anak dalam kandungan itu?

Tidak wajib kepada anaknya kerana syarat wajib zakat fitrah mesti seseorang Islam itu hidup sebahagian Ramadan dan sebahagian Syawal.

10. Adakah wajib zakat fitrah bagi seseorang yang meninggal sebelum terbenam matahari akhir Ramadan?

Tidak wajib kerana syarat wajib zakat fitrah mesti seseorang Islam itu hidup sebahagian Ramadan dan sebahagian Syawal.

11. Saya mempunyai seorang bapa yang susah (miskin) dan telah berkahwin dengan seorang wanita lain yang mempunyai anak-anak. Ibu tiri saya ini juga seorang yang susah. Soalan saya, adakah saya wajib membayar zakat fitrah untuk ayah saya, ibu tiri dan adik-adik tiri saya?

Anda wajib tunaikan zakat fitrah untuk ayah anda sahaja kerana beliau merupakan tanggungan anda. Manakala, ibu tiri dan adik-adik tiri anda pula adalah di bawah tanggungan ayah anda. Oleh itu anda tidak wajib membayar zakat bagi pihak mereka.

12. Suami saya sedang bertugas di luar negara, bagaimana caranya jika beliau ingin membayar zakat fitrah bagi tanggungannya, iaitu saya dan anak-anak? Adakah perlu suami membayar di luar negara, iaitu tempat beliau bertugas sekarang atau adakah perlu saya mewakilkan abang kandung saya untuk membayar zakat fitrah bagi pihak suami?

Suami anda dan anda boleh mewakilkan kepada sesiapa sahaja yang berada di kariah anda dan tanggungan suami.

13. Apakah hukum seseorang yang terlupa membayar zakat fitrah? Apakah yang perlu dilakukan bagi menebus kelalaian tersebut?

Haram melengahkan pembayaran zakat fitrah sama ada sengaja atau terlupa sehingga terbenam matahari satu syawal. Sekalipun demikian anda tetap wajib qada bayar zakat fitrah tersebut.

Rasulullah SAW dalam sabdanya riwayat daripada yang bermaksud:

"Zakat fitrah itu tunaikan bagi membersihkan orang yang berpuasa daripada percakapan yang sia-sia dan kotor dan makanan bagi orang miskin. Sesiapa yang menunaikannya sebelum solat 'Eidilfitri, maka itulah zakat yang diterima. Dan sesiapa yang membayar zakatnya sesudah solat, maka itu adalah sedekah biasa saja." (Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah)

14. Adakah asnaf fakir dan miskin yang menerima bantuan LZS wajib membayar zakat fitrah?
Ya, wajib bayar sekiranya cukup syarat.

15. Adakah amil boleh menerima bayaran zakat fitrah dalam bentuk beras?

Ya, wajib terima.


HIKMAH ROMADHON  
1. Manusia terpilih dipanggil Allah u shoum, "Hai hamba2 Allah yg beriman..., 2. Melaksanakan ibadah shoum sbgm org2 mulia terdahulu, 3. Diperintah u naik moqom taqwa "laallakum tattaquun" (QS 2:183), 4. Meraih ampunan seluruh dosa yg lalu selama melaksanakan dg KEIMANAN & semangat "ihtisaban" u berBERTAUBAT sungguh2, janji tdk pernah mau ma'siyat lagi, 5. Doa2 selama berpuasa mustajabah, 6. Masuk Syurga Allah melewati pintu VIP Ar Royyan, 7. Puasa perisai dari murka Allah & nerakaNya, 8. Segala amal selama puasa dilipatgandakannya sampai 70 kali lipat, 9. Mendapat syafaat Nabi Muhammad di Akhirat kelak, 10. Meraih kesehatan fisik yg prima, 11. Kesempatan maksimal u berinteraksi dg Alqur'an & menghidupkan Sunnah2 Nabi Muhammad, dari tarawih, sedekah, buka puasa, i'tikaf dsb, 12. Motivasi Lailatul Qodar, 13. Spesial shoum hanya Allah yg menilainya. SubhanAllah semua SyariatMu ya Allah mengandung RahmatMu, AmpunanMu, IlmuMu, HidayahMu, BerkahMu, SyurgaMu...teruslah Engkau bimbing kami u menikmati hidup TAAT dlm SyariatMu...aamiin.

BERPUASA MENGGAPAI TAQWA
( Tafsir Surat Al-Baqarah : 183 ) 
 
Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an. Semestinya di bulan Al Qur’an ini umat Islam mengencangkan ikat pinggang dan menancap gas untuk lebih bersemangat membaca serta merenungkan isi Al Qur’an Al Karim. Ya, perenungan isi Al Qur’an hendaknya mendapat porsi yang besar dari aktifitas umat muslim di bulan suci ini. Mengingat hanya dengan inilah umat Islam dapat mengembalikan peran Al Qur’an sebagai pedoman hidup dan panduan menuju jalan yang benar.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadhan adalah bulan bulan diturunkannya Al Qur’an. Al Quran adalah petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (QS. Al Baqarah: 185)
Usaha yang mulia ini bisa dimulai dari sebuah ayat yang sering dibacakan, dikumandangkan, bahkan dihafal oleh kaum muslimin, yaitu surat Al Baqarah ayat 183, yang membahas tentang ibadah puasa. Ayat yang mulia tersebut berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)
Ayat ini mengandung banyak pelajaran berharga berkaitan dengan ibadah puasa. Mari kita kupas hikmah yang mendalam dibalik ayat yang mulia ini.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Wahai orang-orang yang beriman
Dari lafadz ini diketahui bahwa ayat ini madaniyyah atau diturunkan di Madinah (setelah hijrah, pen), sedangkan yang diawali dengan yaa ayyuhan naas, atau yaa bani adam, adalah ayat makkiyyah atau diturunkan di Makkah[1].
Imam Ath Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah : “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya”[2]. Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Ta’ala ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa”[3].
Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah Ta’ala memerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman, dengan demikian Allah Ta’ala pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Dan puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.
Lalu, apakah iman itu?
Iman secara bahasa artinya percaya atau membenarkan. Sebagaimana dalam ayat Al Qur’an:
وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ
Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar” (QS. Yusuf: 17)
Secara gamblang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan makna iman dalam sebuah hadits:
الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره
Iman adalah engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-Nya, mengimani Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari kiamat, mengimani qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk[4]
Demikianlah enam poin yang harus dimiliki oleh orang yang mengaku beriman. Maka orang enggan mempersembahkan ibadah kepada Allah semata, atau menyembah sesembahan lain selain Allah, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang enggan mengimana Muhammad adalah Rasulullah atau meninggalkan sunnahnya, mengada-adakan ibadah yang tidak beliau tuntunkan, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang tidak percaya adanya Malaikat, tidak percaya datangnya kiamat, tidak percaya takdir, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya.
Namun jangan anda mengira bahwa iman itu sekedar percaya di dalam hati. Imam Asy Syafi’i menjelaskan:
وكان الإجماع من الصحابة والتابعين من بعدهم ممن أدركناهم أن الإيمان قول وعمل ونية ، لا يجزئ واحد من الثلاثة بالآخر
Setahu saya, telah menjadi ijma para sahabat serta para tabi’in bahwa iman itu berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan mengurangi salah satu pun dari tiga hal ini[5].
Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan melaksanakan shalat, enggan membayar zakat, dan amalan-amalan lahiriah lainnya. Atau wanita yang mengatakan “Walau saya tidak berjilbab, yang penting hati saya berjilbab”. Jika imannya benar, tentu hati yang ‘berjilbab’ akan ditunjukkan juga secara lahiriah, yaitu memakai jilbab dan busana muslimah dengan benar. Oleh karena itu pula, puasa sebagai amalan lahiriah merupakan konsekuensi iman.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
Telah diwajibkan atas kamu berpuasa
Al Qurthubi menafsirkan ayat ini: “Sebagaimana Allah Ta’ala telah menyebutkan wajibnya qishash dan wasiat kepada orang-orang yang mukallaf pada ayat sebelumnya, Allah Ta’ala juga menyebutkan kewajiban puasa dan mewajibkannya kepada mereka. Tidak ada perselisihan pendapat mengenai wajibnya”[6].
Namun ketahuilah, di awal perkembangan Islam, puasa belum diwajibkan melainkan hanya dianjurkan. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (puasa), maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al Baqarah: 184)
Ibnu Katsir menjelaskan dengan panjang lebar tentang masalah ini, kemudian beliau menyatakan: “Kesimpulannya, penghapusan hukum (dianjurkannya puasa) benar adanya bagi orang yang tidak sedang bepergian dan sehat badannya, yaitu dengan diwajibkannya puasa berdasarkan ayat:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Barangsiapa di antara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, wajib baginya puasa‘ (QS. Al Baqarah: 185)”[7].
Bertahapnya pewajiban ibadah puasa ini berjalan sesuai kondisi aqidah umat Islam ketika itu. Syaikh Ali Hasan Al Halabi -hafizhahullah- menyatakan: “Kewajiban puasa ditunda hingga tahun kedua Hijriah, yaitu ketika para sahabat telah mantap dalam bertauhid dan dalam mengagungkan syiar Islam. Perpindahan hukum ini dilakukan secara bertahap. Karena awalnya mereka diberi pilihan untuk berpuasa atau tidak, namun tetap dianjurkan”[8].
Dari hal ini terdapat sebuah pengajaran berharga bagi kita, bahwa ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya berbanding lurus dengan sejauh mana ia menerapkan tauhid.
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian
Imam Al Alusi dalam tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam ‘Alaihissalam sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan dengan adanya isim maushul. Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud di sini adalah Ahlul Kitab. Menurut Al Hasan, As Suddi, dan As Sya’bi yang dimaksud adalah kaum Nasrani.
Ayat ini menunjukkan adanya penekanan hukum, penambah semangat, serta melegakan hati lawan bicara (yaitu manusia). Karena suatu perkara yang sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan orang banyak, akan menjadi hal yang biasa saja.
Adapun permisalan puasa umat Muhammad dengan umat sebelumnya, yaitu baik berupa sama-sama wajib hukumnya, atau sama waktu pelaksanaannya, atau juga sama kadarnya”[9].
Beberapa riwayat menyatakan bahwa puasa umat sebelum umat Muhammad adalah disyariatkannya puasa tiga hari setiap bulannya, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: “Terdapat riwayat dari Muadz, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Atha’, Qatadah, Ad Dhahak bin Mazahim, yang menyatakan bahwa ibadah puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya, kemudian hal itu di-nasakh dengan disyariatkannya puasa Ramadhan. Dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bahwa kewajiban puasa tiga hari setiap bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh oleh Allah Ta’ala dengan puasa Ramadhan[10].
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Agar kalian bertaqwa
Kata la’alla dalam Al Qur’an memiliki beberapa makna, diantaranya ta’lil (alasan) dan tarajji ‘indal mukhathab (harapan dari sisi orang diajak bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat taqwa. Dengan makna tarajji, dapat kita artikan bahwa orang yang berpuasa berharap dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa[11].
Imam At Thabari menafsirkan ayat ini: “Maksudnya adalah agar kalian bertaqwa (menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjima’ dengan wanita ketika puasa”[12].
Imam Al Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya: “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertaqwa karena sebab puasa. Karena puasa adalah wasilah menuju taqwa. Sebab puasa dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari makanan, minuman dan jima”[13].
Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan dengan ringkas: “Maksudnya, agar kalian bertaqwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat”[14].
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah taqwa itu?
Secara bahasa arab, taqwa berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertaqwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Namun secara istilah, definisi taqwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq Bin Habib Al’Anazi:
العَمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ، وَتَرْكِ مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، مَخَافَةَ عَذَابِ اللهِ
Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah[15].
Demikianlah sifat orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa beribadah, bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan karena ia teringat dalil yang menjanjikan ganjaran dari Allah Ta’ala, bukan atas dasar ikut-ikutan, tradisi, taklid buta, atau orientasi duniawi. Demikian juga orang bertaqwa senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, karena ia teringat dalil yang mengancam dengan adzab yang mengerikan. Dari sini kita tahu bahwa ketaqwaan tidak mungkin tercapai tanpa memiliki cahaya Allah, yaitu ilmu terhadap dalil Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Jika seseorang memenuhi kriteria ini, layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisinya:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (QS. Al Hujurat: 13)
Setelah mengetahui makna taqwa, simaklah penjelasan indah berikut ini dari Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya, tentang keterkaitan antara puasa dengan ketaqwaan: “Puasa itu salah satu sebab terbesar menuju ketaqwaan. Karena orang yang berpuasa telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Selain itu, keterkaitan yang lebih luas lagi antara puasa dan ketaqwaan:
  1. Orang yang berpuasa menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh Allah berupa makan, minum jima’ dan semisalnya. Padahal jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan semua itu demi mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharap pahala dari-Nya. Ini semua merupakan bentuk taqwa’
  2. Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya, padahal sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima tanpa diketahui orang, namun ia meninggalkannya karena sadar bahwa Allah mengawasinya
  3. Puasa itu mempersempit gerak setan dalam aliran darah manusia, sehingga pengaruh setan melemah. Akibatnya maksiat dapat dikurangi
  4. Puasa itu secara umum dapat memperbanyak ketaatan kepada Allah, dan ini merupakan tabiat orang yang bertaqwa
  5. Dengan puasa, orang kaya merasakan perihnya rasa lapar. Sehingga ia akan lebih peduli kepada orang-orang faqir yang kekurangan. Dan ini juga merupakan tabiat orang yang bertaqwa”[16]
Semoga puasa kita dapat menjadi saksi dihadapan Allah tentang keimanan kita kepada-Nya. Dan semoga puasa kita mengantarkan kita menuju derajat taqwa, menjadi hamba yang mulia di sisi Allah Ta’ala.
Penulis: Yulian Purnama
Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an. Semestinya di bulan Al Qur’an ini umat Islam mengencangkan ikat pinggang dan menancap gas untuk lebih bersemangat membaca serta merenungkan isi Al Qur’an Al Karim. Ya, perenungan isi Al Qur’an hendaknya mendapat porsi yang besar dari aktifitas umat muslim di bulan suci ini. Mengingat hanya dengan inilah umat Islam dapat mengembalikan peran Al Qur’an sebagai pedoman hidup dan panduan menuju jalan yang benar.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadhan adalah bulan bulan diturunkannya Al Qur’an. Al Quran adalah petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (QS. Al Baqarah: 185)
Usaha yang mulia ini bisa dimulai dari sebuah ayat yang sering dibacakan, dikumandangkan, bahkan dihafal oleh kaum muslimin, yaitu surat Al Baqarah ayat 183, yang membahas tentang ibadah puasa. Ayat yang mulia tersebut berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)
Ayat ini mengandung banyak pelajaran berharga berkaitan dengan ibadah puasa. Mari kita kupas hikmah yang mendalam dibalik ayat yang mulia ini.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Wahai orang-orang yang beriman
Dari lafadz ini diketahui bahwa ayat ini madaniyyah atau diturunkan di Madinah (setelah hijrah, pen), sedangkan yang diawali dengan yaa ayyuhan naas, atau yaa bani adam, adalah ayat makkiyyah atau diturunkan di Makkah[1].
Imam Ath Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah : “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya”[2]. Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Ta’ala ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa”[3].
Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah Ta’ala memerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman, dengan demikian Allah Ta’ala pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Dan puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.
Lalu, apakah iman itu?
Iman secara bahasa artinya percaya atau membenarkan. Sebagaimana dalam ayat Al Qur’an:
وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ
Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar” (QS. Yusuf: 17)
Secara gamblang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan makna iman dalam sebuah hadits:
الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره
Iman adalah engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-Nya, mengimani Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari kiamat, mengimani qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk[4]
Demikianlah enam poin yang harus dimiliki oleh orang yang mengaku beriman. Maka orang enggan mempersembahkan ibadah kepada Allah semata, atau menyembah sesembahan lain selain Allah, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang enggan mengimana Muhammad adalah Rasulullah atau meninggalkan sunnahnya, mengada-adakan ibadah yang tidak beliau tuntunkan, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang tidak percaya adanya Malaikat, tidak percaya datangnya kiamat, tidak percaya takdir, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya.
Namun jangan anda mengira bahwa iman itu sekedar percaya di dalam hati. Imam Asy Syafi’i menjelaskan:
وكان الإجماع من الصحابة والتابعين من بعدهم ممن أدركناهم أن الإيمان قول وعمل ونية ، لا يجزئ واحد من الثلاثة بالآخر
Setahu saya, telah menjadi ijma para sahabat serta para tabi’in bahwa iman itu berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan mengurangi salah satu pun dari tiga hal ini[5].
Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan melaksanakan shalat, enggan membayar zakat, dan amalan-amalan lahiriah lainnya. Atau wanita yang mengatakan “Walau saya tidak berjilbab, yang penting hati saya berjilbab”. Jika imannya benar, tentu hati yang ‘berjilbab’ akan ditunjukkan juga secara lahiriah, yaitu memakai jilbab dan busana muslimah dengan benar. Oleh karena itu pula, puasa sebagai amalan lahiriah merupakan konsekuensi iman.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
Telah diwajibkan atas kamu berpuasa
Al Qurthubi menafsirkan ayat ini: “Sebagaimana Allah Ta’ala telah menyebutkan wajibnya qishash dan wasiat kepada orang-orang yang mukallaf pada ayat sebelumnya, Allah Ta’ala juga menyebutkan kewajiban puasa dan mewajibkannya kepada mereka. Tidak ada perselisihan pendapat mengenai wajibnya”[6].
Namun ketahuilah, di awal perkembangan Islam, puasa belum diwajibkan melainkan hanya dianjurkan. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (puasa), maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al Baqarah: 184)
Ibnu Katsir menjelaskan dengan panjang lebar tentang masalah ini, kemudian beliau menyatakan: “Kesimpulannya, penghapusan hukum (dianjurkannya puasa) benar adanya bagi orang yang tidak sedang bepergian dan sehat badannya, yaitu dengan diwajibkannya puasa berdasarkan ayat:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Barangsiapa di antara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, wajib baginya puasa‘ (QS. Al Baqarah: 185)”[7].
Bertahapnya pewajiban ibadah puasa ini berjalan sesuai kondisi aqidah umat Islam ketika itu. Syaikh Ali Hasan Al Halabi -hafizhahullah- menyatakan: “Kewajiban puasa ditunda hingga tahun kedua Hijriah, yaitu ketika para sahabat telah mantap dalam bertauhid dan dalam mengagungkan syiar Islam. Perpindahan hukum ini dilakukan secara bertahap. Karena awalnya mereka diberi pilihan untuk berpuasa atau tidak, namun tetap dianjurkan”[8].
Dari hal ini terdapat sebuah pengajaran berharga bagi kita, bahwa ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya berbanding lurus dengan sejauh mana ia menerapkan tauhid.
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian
Imam Al Alusi dalam tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam ‘Alaihissalam sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan dengan adanya isim maushul. Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud di sini adalah Ahlul Kitab. Menurut Al Hasan, As Suddi, dan As Sya’bi yang dimaksud adalah kaum Nasrani.
Ayat ini menunjukkan adanya penekanan hukum, penambah semangat, serta melegakan hati lawan bicara (yaitu manusia). Karena suatu perkara yang sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan orang banyak, akan menjadi hal yang biasa saja.
Adapun permisalan puasa umat Muhammad dengan umat sebelumnya, yaitu baik berupa sama-sama wajib hukumnya, atau sama waktu pelaksanaannya, atau juga sama kadarnya”[9].
Beberapa riwayat menyatakan bahwa puasa umat sebelum umat Muhammad adalah disyariatkannya puasa tiga hari setiap bulannya, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: “Terdapat riwayat dari Muadz, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Atha’, Qatadah, Ad Dhahak bin Mazahim, yang menyatakan bahwa ibadah puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya, kemudian hal itu di-nasakh dengan disyariatkannya puasa Ramadhan. Dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bahwa kewajiban puasa tiga hari setiap bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh oleh Allah Ta’ala dengan puasa Ramadhan[10].
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Agar kalian bertaqwa
Kata la’alla dalam Al Qur’an memiliki beberapa makna, diantaranya ta’lil (alasan) dan tarajji ‘indal mukhathab (harapan dari sisi orang diajak bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat taqwa. Dengan makna tarajji, dapat kita artikan bahwa orang yang berpuasa berharap dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa[11].
Imam At Thabari menafsirkan ayat ini: “Maksudnya adalah agar kalian bertaqwa (menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjima’ dengan wanita ketika puasa”[12].
Imam Al Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya: “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertaqwa karena sebab puasa. Karena puasa adalah wasilah menuju taqwa. Sebab puasa dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari makanan, minuman dan jima”[13].
Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan dengan ringkas: “Maksudnya, agar kalian bertaqwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat”[14].
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah taqwa itu?
Secara bahasa arab, taqwa berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertaqwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Namun secara istilah, definisi taqwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq Bin Habib Al’Anazi:
العَمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ، وَتَرْكِ مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، مَخَافَةَ عَذَابِ اللهِ
Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah[15].
Demikianlah sifat orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa beribadah, bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan karena ia teringat dalil yang menjanjikan ganjaran dari Allah Ta’ala, bukan atas dasar ikut-ikutan, tradisi, taklid buta, atau orientasi duniawi. Demikian juga orang bertaqwa senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, karena ia teringat dalil yang mengancam dengan adzab yang mengerikan. Dari sini kita tahu bahwa ketaqwaan tidak mungkin tercapai tanpa memiliki cahaya Allah, yaitu ilmu terhadap dalil Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Jika seseorang memenuhi kriteria ini, layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisinya:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (QS. Al Hujurat: 13)
Setelah mengetahui makna taqwa, simaklah penjelasan indah berikut ini dari Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya, tentang keterkaitan antara puasa dengan ketaqwaan: “Puasa itu salah satu sebab terbesar menuju ketaqwaan. Karena orang yang berpuasa telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Selain itu, keterkaitan yang lebih luas lagi antara puasa dan ketaqwaan:
  1. Orang yang berpuasa menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh Allah berupa makan, minum jima’ dan semisalnya. Padahal jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan semua itu demi mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharap pahala dari-Nya. Ini semua merupakan bentuk taqwa’
  2. Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya, padahal sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima tanpa diketahui orang, namun ia meninggalkannya karena sadar bahwa Allah mengawasinya
  3. Puasa itu mempersempit gerak setan dalam aliran darah manusia, sehingga pengaruh setan melemah. Akibatnya maksiat dapat dikurangi
  4. Puasa itu secara umum dapat memperbanyak ketaatan kepada Allah, dan ini merupakan tabiat orang yang bertaqwa
  5. Dengan puasa, orang kaya merasakan perihnya rasa lapar. Sehingga ia akan lebih peduli kepada orang-orang faqir yang kekurangan. Dan ini juga merupakan tabiat orang yang bertaqwa”[16]
Semoga puasa kita dapat menjadi saksi dihadapan Allah tentang keimanan kita kepada-Nya. Dan semoga puasa kita mengantarkan kita menuju derajat taqwa, menjadi hamba yang mulia di sisi Allah Ta’ala.
Penulis: Yulian Purnama
Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an. Semestinya di bulan Al Qur’an ini umat Islam mengencangkan ikat pinggang dan menancap gas untuk lebih bersemangat membaca serta merenungkan isi Al Qur’an Al Karim. Ya, perenungan isi Al Qur’an hendaknya mendapat porsi yang besar dari aktifitas umat muslim di bulan suci ini. Mengingat hanya dengan inilah umat Islam dapat mengembalikan peran Al Qur’an sebagai pedoman hidup dan panduan menuju jalan yang benar.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadhan adalah bulan bulan diturunkannya Al Qur’an. Al Quran adalah petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (QS. Al Baqarah: 185)
Usaha yang mulia ini bisa dimulai dari sebuah ayat yang sering dibacakan, dikumandangkan, bahkan dihafal oleh kaum muslimin, yaitu surat Al Baqarah ayat 183, yang membahas tentang ibadah puasa. Ayat yang mulia tersebut berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)
Ayat ini mengandung banyak pelajaran berharga berkaitan dengan ibadah puasa. Mari kita kupas hikmah yang mendalam dibalik ayat yang mulia ini.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Wahai orang-orang yang beriman
Dari lafadz ini diketahui bahwa ayat ini madaniyyah atau diturunkan di Madinah (setelah hijrah, pen), sedangkan yang diawali dengan yaa ayyuhan naas, atau yaa bani adam, adalah ayat makkiyyah atau diturunkan di Makkah[1].
Imam Ath Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah : “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya”[2]. Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Ta’ala ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa”[3].
Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah Ta’ala memerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman, dengan demikian Allah Ta’ala pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Dan puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.
Lalu, apakah iman itu?
Iman secara bahasa artinya percaya atau membenarkan. Sebagaimana dalam ayat Al Qur’an:
وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ
Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar” (QS. Yusuf: 17)
Secara gamblang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan makna iman dalam sebuah hadits:
الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره
Iman adalah engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-Nya, mengimani Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari kiamat, mengimani qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk[4]
Demikianlah enam poin yang harus dimiliki oleh orang yang mengaku beriman. Maka orang enggan mempersembahkan ibadah kepada Allah semata, atau menyembah sesembahan lain selain Allah, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang enggan mengimana Muhammad adalah Rasulullah atau meninggalkan sunnahnya, mengada-adakan ibadah yang tidak beliau tuntunkan, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang tidak percaya adanya Malaikat, tidak percaya datangnya kiamat, tidak percaya takdir, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya.
Namun jangan anda mengira bahwa iman itu sekedar percaya di dalam hati. Imam Asy Syafi’i menjelaskan:
وكان الإجماع من الصحابة والتابعين من بعدهم ممن أدركناهم أن الإيمان قول وعمل ونية ، لا يجزئ واحد من الثلاثة بالآخر
Setahu saya, telah menjadi ijma para sahabat serta para tabi’in bahwa iman itu berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan mengurangi salah satu pun dari tiga hal ini[5].
Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan melaksanakan shalat, enggan membayar zakat, dan amalan-amalan lahiriah lainnya. Atau wanita yang mengatakan “Walau saya tidak berjilbab, yang penting hati saya berjilbab”. Jika imannya benar, tentu hati yang ‘berjilbab’ akan ditunjukkan juga secara lahiriah, yaitu memakai jilbab dan busana muslimah dengan benar. Oleh karena itu pula, puasa sebagai amalan lahiriah merupakan konsekuensi iman.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
Telah diwajibkan atas kamu berpuasa
Al Qurthubi menafsirkan ayat ini: “Sebagaimana Allah Ta’ala telah menyebutkan wajibnya qishash dan wasiat kepada orang-orang yang mukallaf pada ayat sebelumnya, Allah Ta’ala juga menyebutkan kewajiban puasa dan mewajibkannya kepada mereka. Tidak ada perselisihan pendapat mengenai wajibnya”[6].
Namun ketahuilah, di awal perkembangan Islam, puasa belum diwajibkan melainkan hanya dianjurkan. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (puasa), maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al Baqarah: 184)
Ibnu Katsir menjelaskan dengan panjang lebar tentang masalah ini, kemudian beliau menyatakan: “Kesimpulannya, penghapusan hukum (dianjurkannya puasa) benar adanya bagi orang yang tidak sedang bepergian dan sehat badannya, yaitu dengan diwajibkannya puasa berdasarkan ayat:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Barangsiapa di antara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, wajib baginya puasa‘ (QS. Al Baqarah: 185)”[7].
Bertahapnya pewajiban ibadah puasa ini berjalan sesuai kondisi aqidah umat Islam ketika itu. Syaikh Ali Hasan Al Halabi -hafizhahullah- menyatakan: “Kewajiban puasa ditunda hingga tahun kedua Hijriah, yaitu ketika para sahabat telah mantap dalam bertauhid dan dalam mengagungkan syiar Islam. Perpindahan hukum ini dilakukan secara bertahap. Karena awalnya mereka diberi pilihan untuk berpuasa atau tidak, namun tetap dianjurkan”[8].
Dari hal ini terdapat sebuah pengajaran berharga bagi kita, bahwa ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya berbanding lurus dengan sejauh mana ia menerapkan tauhid.
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian
Imam Al Alusi dalam tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam ‘Alaihissalam sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan dengan adanya isim maushul. Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud di sini adalah Ahlul Kitab. Menurut Al Hasan, As Suddi, dan As Sya’bi yang dimaksud adalah kaum Nasrani.
Ayat ini menunjukkan adanya penekanan hukum, penambah semangat, serta melegakan hati lawan bicara (yaitu manusia). Karena suatu perkara yang sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan orang banyak, akan menjadi hal yang biasa saja.
Adapun permisalan puasa umat Muhammad dengan umat sebelumnya, yaitu baik berupa sama-sama wajib hukumnya, atau sama waktu pelaksanaannya, atau juga sama kadarnya”[9].
Beberapa riwayat menyatakan bahwa puasa umat sebelum umat Muhammad adalah disyariatkannya puasa tiga hari setiap bulannya, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: “Terdapat riwayat dari Muadz, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Atha’, Qatadah, Ad Dhahak bin Mazahim, yang menyatakan bahwa ibadah puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya, kemudian hal itu di-nasakh dengan disyariatkannya puasa Ramadhan. Dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bahwa kewajiban puasa tiga hari setiap bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh oleh Allah Ta’ala dengan puasa Ramadhan[10].
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Agar kalian bertaqwa
Kata la’alla dalam Al Qur’an memiliki beberapa makna, diantaranya ta’lil (alasan) dan tarajji ‘indal mukhathab (harapan dari sisi orang diajak bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat taqwa. Dengan makna tarajji, dapat kita artikan bahwa orang yang berpuasa berharap dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa[11].
Imam At Thabari menafsirkan ayat ini: “Maksudnya adalah agar kalian bertaqwa (menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjima’ dengan wanita ketika puasa”[12].
Imam Al Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya: “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertaqwa karena sebab puasa. Karena puasa adalah wasilah menuju taqwa. Sebab puasa dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari makanan, minuman dan jima”[13].
Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan dengan ringkas: “Maksudnya, agar kalian bertaqwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat”[14].
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah taqwa itu?
Secara bahasa arab, taqwa berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertaqwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Namun secara istilah, definisi taqwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq Bin Habib Al’Anazi:
العَمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ، وَتَرْكِ مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، مَخَافَةَ عَذَابِ اللهِ
Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah[15].
Demikianlah sifat orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa beribadah, bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan karena ia teringat dalil yang menjanjikan ganjaran dari Allah Ta’ala, bukan atas dasar ikut-ikutan, tradisi, taklid buta, atau orientasi duniawi. Demikian juga orang bertaqwa senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, karena ia teringat dalil yang mengancam dengan adzab yang mengerikan. Dari sini kita tahu bahwa ketaqwaan tidak mungkin tercapai tanpa memiliki cahaya Allah, yaitu ilmu terhadap dalil Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Jika seseorang memenuhi kriteria ini, layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisinya:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (QS. Al Hujurat: 13)
Setelah mengetahui makna taqwa, simaklah penjelasan indah berikut ini dari Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya, tentang keterkaitan antara puasa dengan ketaqwaan: “Puasa itu salah satu sebab terbesar menuju ketaqwaan. Karena orang yang berpuasa telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Selain itu, keterkaitan yang lebih luas lagi antara puasa dan ketaqwaan:
  1. Orang yang berpuasa menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh Allah berupa makan, minum jima’ dan semisalnya. Padahal jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan semua itu demi mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharap pahala dari-Nya. Ini semua merupakan bentuk taqwa’
  2. Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya, padahal sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima tanpa diketahui orang, namun ia meninggalkannya karena sadar bahwa Allah mengawasinya
  3. Puasa itu mempersempit gerak setan dalam aliran darah manusia, sehingga pengaruh setan melemah. Akibatnya maksiat dapat dikurangi
  4. Puasa itu secara umum dapat memperbanyak ketaatan kepada Allah, dan ini merupakan tabiat orang yang bertaqwa
  5. Dengan puasa, orang kaya merasakan perihnya rasa lapar. Sehingga ia akan lebih peduli kepada orang-orang faqir yang kekurangan. Dan ini juga merupakan tabiat orang yang bertaqwa”[16]
Semoga puasa kita dapat menjadi saksi dihadapan Allah tentang keimanan kita kepada-Nya. Dan semoga puasa kita mengantarkan kita menuju derajat taqwa, menjadi hamba yang mulia di sisi Allah Ta’ala.
Penulis: Yulian Purnama


Bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an. Semestinya di bulan Al Qur’an ini umat Islam mengencangkan ikat pinggang dan menancap gas untuk lebih bersemangat membaca serta merenungkan isi Al Qur’an Al Karim. Ya, perenungan isi Al Qur’an hendaknya mendapat porsi yang besar dari aktifitas umat muslim di bulan suci ini. Mengingat hanya dengan inilah umat Islam dapat mengembalikan peran Al Qur’an sebagai pedoman hidup dan panduan menuju jalan yang benar.
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Bulan Ramadhan adalah bulan bulan diturunkannya Al Qur’an. Al Quran adalah petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)” (QS. Al Baqarah: 185)
Usaha yang mulia ini bisa dimulai dari sebuah ayat yang sering dibacakan, dikumandangkan, bahkan dihafal oleh kaum muslimin, yaitu surat Al Baqarah ayat 183, yang membahas tentang ibadah puasa. Ayat yang mulia tersebut berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183)
Ayat ini mengandung banyak pelajaran berharga berkaitan dengan ibadah puasa. Mari kita kupas hikmah yang mendalam dibalik ayat yang mulia ini.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
Wahai orang-orang yang beriman
Dari lafadz ini diketahui bahwa ayat ini madaniyyah atau diturunkan di Madinah (setelah hijrah, pen), sedangkan yang diawali dengan yaa ayyuhan naas, atau yaa bani adam, adalah ayat makkiyyah atau diturunkan di Makkah[1].
Imam Ath Thabari menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah : “Wahai orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, membenarkan keduanya dan mengikrarkan keimanan kepada keduanya”[2]. Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini: “Firman Allah Ta’ala ini ditujukan kepada orang-orang yang beriman dari umat manusia dan ini merupakan perintah untuk melaksanakan ibadah puasa”[3].
Dari ayat ini kita melihat dengan jelas adanya kaitan antara puasa dengan keimanan seseorang. Allah Ta’ala memerintahkan puasa kepada orang-orang yang memiliki iman, dengan demikian Allah Ta’ala pun hanya menerima puasa dari jiwa-jiwa yang terdapat iman di dalamnya. Dan puasa juga merupakan tanda kesempurnaan keimanan seseorang.
Lalu, apakah iman itu?
Iman secara bahasa artinya percaya atau membenarkan. Sebagaimana dalam ayat Al Qur’an:
وَمَا أَنْتَ بِمُؤْمِنٍ لَنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ
Dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada kami, sekalipun kami adalah orang-orang yang benar” (QS. Yusuf: 17)
Secara gamblang Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjelaskan makna iman dalam sebuah hadits:
الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وكتبه ورسله واليوم الآخر وتؤمن بالقدر خيره وشره
Iman adalah engkau mengimani Allah, mengimani Malaikat-Nya, mengimani Kitab-kitab-Nya, mengimani para Rasul-Nya, mengimani hari kiamat, mengimani qadha dan qadar, yang baik maupun yang buruk[4]
Demikianlah enam poin yang harus dimiliki oleh orang yang mengaku beriman. Maka orang enggan mempersembahkan ibadah kepada Allah semata, atau menyembah sesembahan lain selain Allah, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang enggan mengimana Muhammad adalah Rasulullah atau meninggalkan sunnahnya, mengada-adakan ibadah yang tidak beliau tuntunkan, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya. Orang yang tidak percaya adanya Malaikat, tidak percaya datangnya kiamat, tidak percaya takdir, perlu dipertanyakan kesempurnaan imannya.
Namun jangan anda mengira bahwa iman itu sekedar percaya di dalam hati. Imam Asy Syafi’i menjelaskan:
وكان الإجماع من الصحابة والتابعين من بعدهم ممن أدركناهم أن الإيمان قول وعمل ونية ، لا يجزئ واحد من الثلاثة بالآخر
Setahu saya, telah menjadi ijma para sahabat serta para tabi’in bahwa iman itu berupa perkataan, perbuatan, dan niat (perbuatan hati), jangan mengurangi salah satu pun dari tiga hal ini[5].
Dengan demikian tidak dapat dibenarkan orang yang mengaku beriman namun enggan melaksanakan shalat, enggan membayar zakat, dan amalan-amalan lahiriah lainnya. Atau wanita yang mengatakan “Walau saya tidak berjilbab, yang penting hati saya berjilbab”. Jika imannya benar, tentu hati yang ‘berjilbab’ akan ditunjukkan juga secara lahiriah, yaitu memakai jilbab dan busana muslimah dengan benar. Oleh karena itu pula, puasa sebagai amalan lahiriah merupakan konsekuensi iman.
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ
Telah diwajibkan atas kamu berpuasa
Al Qurthubi menafsirkan ayat ini: “Sebagaimana Allah Ta’ala telah menyebutkan wajibnya qishash dan wasiat kepada orang-orang yang mukallaf pada ayat sebelumnya, Allah Ta’ala juga menyebutkan kewajiban puasa dan mewajibkannya kepada mereka. Tidak ada perselisihan pendapat mengenai wajibnya”[6].
Namun ketahuilah, di awal perkembangan Islam, puasa belum diwajibkan melainkan hanya dianjurkan. Sebagaimana ditunjukkan oleh ayat:
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan (puasa), maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al Baqarah: 184)
Ibnu Katsir menjelaskan dengan panjang lebar tentang masalah ini, kemudian beliau menyatakan: “Kesimpulannya, penghapusan hukum (dianjurkannya puasa) benar adanya bagi orang yang tidak sedang bepergian dan sehat badannya, yaitu dengan diwajibkannya puasa berdasarkan ayat:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Barangsiapa di antara kamu hadir di bulan (Ramadhan) itu, wajib baginya puasa‘ (QS. Al Baqarah: 185)”[7].
Bertahapnya pewajiban ibadah puasa ini berjalan sesuai kondisi aqidah umat Islam ketika itu. Syaikh Ali Hasan Al Halabi -hafizhahullah- menyatakan: “Kewajiban puasa ditunda hingga tahun kedua Hijriah, yaitu ketika para sahabat telah mantap dalam bertauhid dan dalam mengagungkan syiar Islam. Perpindahan hukum ini dilakukan secara bertahap. Karena awalnya mereka diberi pilihan untuk berpuasa atau tidak, namun tetap dianjurkan”[8].
Dari hal ini terdapat sebuah pengajaran berharga bagi kita, bahwa ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya berbanding lurus dengan sejauh mana ia menerapkan tauhid.
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“Sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian
Imam Al Alusi dalam tafsirnya menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang sebelum kalian’ adalah para Nabi sejak masa Nabi Adam ‘Alaihissalam sampai sekarang, sebagaimana keumuman yang ditunjukkan dengan adanya isim maushul. Menurut Ibnu Abbas dan Mujahid, yang dimaksud di sini adalah Ahlul Kitab. Menurut Al Hasan, As Suddi, dan As Sya’bi yang dimaksud adalah kaum Nasrani.
Ayat ini menunjukkan adanya penekanan hukum, penambah semangat, serta melegakan hati lawan bicara (yaitu manusia). Karena suatu perkara yang sulit itu jika sudah menjadi hal yang umum dilakukan orang banyak, akan menjadi hal yang biasa saja.
Adapun permisalan puasa umat Muhammad dengan umat sebelumnya, yaitu baik berupa sama-sama wajib hukumnya, atau sama waktu pelaksanaannya, atau juga sama kadarnya”[9].
Beberapa riwayat menyatakan bahwa puasa umat sebelum umat Muhammad adalah disyariatkannya puasa tiga hari setiap bulannya, sebagaimana diterangkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsirnya: “Terdapat riwayat dari Muadz, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, Atha’, Qatadah, Ad Dhahak bin Mazahim, yang menyatakan bahwa ibadah puasa awalnya hanya diwajibkan selama tiga hari setiap bulannya, kemudian hal itu di-nasakh dengan disyariatkannya puasa Ramadhan. Dalam riwayat tersebut terdapat tambahan bahwa kewajiban puasa tiga hari setiap bulan sudah ada sejak zaman Nabi Nuh hingga akhirnya di-nasakh oleh Allah Ta’ala dengan puasa Ramadhan[10].
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Agar kalian bertaqwa
Kata la’alla dalam Al Qur’an memiliki beberapa makna, diantaranya ta’lil (alasan) dan tarajji ‘indal mukhathab (harapan dari sisi orang diajak bicara). Dengan makna ta’lil, dapat kita artikan bahwa alasan diwajibkannya puasa adalah agar orang yang berpuasa mencapai derajat taqwa. Dengan makna tarajji, dapat kita artikan bahwa orang yang berpuasa berharap dengan perantaraan puasanya ia dapat menjadi orang yang bertaqwa[11].
Imam At Thabari menafsirkan ayat ini: “Maksudnya adalah agar kalian bertaqwa (menjauhkan diri) dari makan, minum dan berjima’ dengan wanita ketika puasa”[12].
Imam Al Baghawi memperluas tafsiran tersebut dengan penjelasannya: “Maksudnya, mudah-mudahan kalian bertaqwa karena sebab puasa. Karena puasa adalah wasilah menuju taqwa. Sebab puasa dapat menundukkan nafsu dan mengalahkan syahwat. Sebagian ahli tafsir juga menyatakan, maksudnya: agar kalian waspada terhadap syahwat yang muncul dari makanan, minuman dan jima”[13].
Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan dengan ringkas: “Maksudnya, agar kalian bertaqwa dari maksiat. Sebab puasa dapat mengalahkan syahwat yang merupakan sumber maksiat”[14].
Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah taqwa itu?
Secara bahasa arab, taqwa berasal dari fi’il ittaqa-yattaqi, yang artinya berhati-hati, waspada, takut. Bertaqwa dari maksiat maksudnya waspada dan takut terjerumus dalam maksiat. Namun secara istilah, definisi taqwa yang terindah adalah yang diungkapkan oleh Thalq Bin Habib Al’Anazi:
العَمَلُ بِطَاعَةِ اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، رَجَاءَ ثَوَابِ اللهِ، وَتَرْكِ مَعَاصِي اللهِ، عَلَى نُوْرٍ مِنَ اللهِ، مَخَافَةَ عَذَابِ اللهِ
Taqwa adalah mengamalkan ketaatan kepada Allah dengan cahaya Allah (dalil), mengharap ampunan Allah, meninggalkan maksiat dengan cahaya Allah (dalil), dan takut terhadap adzab Allah[15].
Demikianlah sifat orang yang bertaqwa. Orang yang bertaqwa beribadah, bermuamalah, bergaul, mengerjakan kebaikan karena ia teringat dalil yang menjanjikan ganjaran dari Allah Ta’ala, bukan atas dasar ikut-ikutan, tradisi, taklid buta, atau orientasi duniawi. Demikian juga orang bertaqwa senantiasa takut mengerjakan hal yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, karena ia teringat dalil yang mengancam dengan adzab yang mengerikan. Dari sini kita tahu bahwa ketaqwaan tidak mungkin tercapai tanpa memiliki cahaya Allah, yaitu ilmu terhadap dalil Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Jika seseorang memenuhi kriteria ini, layaklah ia menjadi hamba yang mulia di sisinya:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (QS. Al Hujurat: 13)
Setelah mengetahui makna taqwa, simaklah penjelasan indah berikut ini dari Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah dalam tafsirnya, tentang keterkaitan antara puasa dengan ketaqwaan: “Puasa itu salah satu sebab terbesar menuju ketaqwaan. Karena orang yang berpuasa telah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Selain itu, keterkaitan yang lebih luas lagi antara puasa dan ketaqwaan:
  1. Orang yang berpuasa menjauhkan diri dari yang diharamkan oleh Allah berupa makan, minum jima’ dan semisalnya. Padahal jiwa manusia memiliki kecenderungan kepada semua itu. Ia meninggalkan semua itu demi mendekatkan diri kepada Allah, dan mengharap pahala dari-Nya. Ini semua merupakan bentuk taqwa’
  2. Orang yang berpuasa melatih dirinya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dengan menjauhi hal-hal yang disukai oleh nafsunya, padahal sebetulnya ia mampu untuk makan, minum atau berjima tanpa diketahui orang, namun ia meninggalkannya karena sadar bahwa Allah mengawasinya
  3. Puasa itu mempersempit gerak setan dalam aliran darah manusia, sehingga pengaruh setan melemah. Akibatnya maksiat dapat dikurangi
  4. Puasa itu secara umum dapat memperbanyak ketaatan kepada Allah, dan ini merupakan tabiat orang yang bertaqwa
  5. Dengan puasa, orang kaya merasakan perihnya rasa lapar. Sehingga ia akan lebih peduli kepada orang-orang faqir yang kekurangan. Dan ini juga merupakan tabiat orang yang bertaqwa”[16]
Semoga puasa kita dapat menjadi saksi dihadapan Allah tentang keimanan kita kepada-Nya. Dan semoga puasa kita mengantarkan kita menuju derajat taqwa, menjadi hamba yang mulia di sisi Allah Ta’ala.
Penulis: Yulian Purnama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


ShoutMix chat widget